Prasangka : Fenomena sosial
(terjadi) di mana-mana
Prasangka
terjadi di mana-mana dalam berbagai bentuk, dan hal itu memengaruhi kita semua.
Prasangka dapat terjadi dalam dua arah: mengalir dari kelompok mayoritas kepada
kelompok minoritas, dan sebaliknya. Kelompok manapun dapat menjadi sasaran
prasangka. Banyak aspek dari identitas kita yang dapat menyebabkan kita diberi
label dan didiskriminasi, antara lain kebangsaan, ras, etnis,
jenis kelamin, orientasi seksual, agama, penampilan fisik, negara, dll.
Beberapa
orang memiliki sikap negatif tentang pekerja kerah biru, ada pula yang bersikap
negatif terhadap para CEO, dsb. Intinya adalah bahwa tidak satupun dari kita
yang benar-benar tidak cedera oleh prasangka; prasangka adalah masalah umum
untuk seluruh umat manusia. Ketidaksukaan terhadap suatu kelompok yang
berlangsung terus-menerus akibatnya dapat meningkatkan kebencian ekstrim,
bahkan dapat diikuti dengan tindakan menyiksa dan membunuh. Salah satu
konsekuensi dari seringnya menjadi target prasangka terus-menerus adalah
penurunan harga diri seseorang.
Prasangka dan Harga Diri
Anak-anak
Amerika Afrika, bahkan yang masih berumur 3 tahun nampaknya sudah berpikir
tidak menginginkan menjadi orang kulit hitam. Hal ini ditunjukkan dalam
penelitian Clark dan Clark (1947): Anak-anak ditawari pilihan antara bermain
dengan boneka kulit putih atau bermain dengan boneka kulit hitam. Sebagian
besar dari mereka menolak boneka hitam, mereka merasa bahwa boneka putih lebih
cantik dan lebih unggul.
Perasaan
rendah diri nampaknya telah menyebabkan penindasan terhadap kelompoknya
sendiri. Misalnya, penelitian Goldberg (1968) menunjukkan bahwa perempuan dari
budaya Afrika-Amerika telah belajar menganggap diri mereka secara intelektual
lebih rendah dari pria. Dalam eksperimennya, Goldberg meminta para mahasiswi
untuk membaca artikel ilmiah dan mengevaluasinya dalam hal kompetensi dan gaya
penulisan. Untuk sebagian subjek, penulis artikel ilmiah itu ditulis dengan
nama pria (John T. Mc.Kay), dan untuk sebagian subjek lainnya, artikel ilmiah
yang sama itu nama penulisnya ditulis dengan nama wanita (Joan T. Mc.Kay).
Hasilnya ternyata para mahasiswi itu menilai lebih tinggi dalam kondisi artikel
ilmiah itu diinformasikan sebagai tulisan seorang pria.
Hasil
penelitian Clark & Clark (1947) dan Goldberg (1968) di atas menunjukkan
adanya warisan prasangka dalam suatu masyarakat.
A. DEFINISI PRASANGKA
Prasangka
merupakan sikap. Sikap terdiri dari tiga komponen:
- komponen afektif atau emosional , mewakili kedua jenis emosi yang berkaitan dengan sikap (misalnya, kemarahan, kehangatan) dan ekstremitas sikap (misalnya, kegelisahan ringan, permusuhan langsung)
- komponen kognitif , yang melibatkan keyakinan atau pikiran-pikiran yang membentuk sikap.
- komponen perilaku, berkaitan dengan tindakan seseorang. Sikap biasanya diikuti dengan perilaku (meskipun tidak selalu).
Prasangka,
menunjuk pada struktur sikap umum dengan komponen afektifnya (emosional).
Prasangka, bisa positif atau negatif, namun para psikolog sosial (dan
orang-orang pada umumnya) menggunakan kata prasangka terutama menunjuk pada
sikap negatif terhadap orang lain. Prasangka dalam konteks ini didefinisikan
sebagai:
‚Sikap negatif terhadap individu
atau sekelompok individu tertentu, yang hanya didasarkan pada keanggotaan
individu tersebut dalam kelompok tertentu.‛
1. Stereotip
: Komponen Kognitif
Istilah
stereotype pertama kali diperkenalkan
oleh Jumalis Walter Lippmann (1992). Ia menggambarkan stereotype sebagai "The
little pictures we carry around inside our
head", dimana gambaran-gambaran tersebut merupakan skema mengenai kelompok. Budaya atau kelompok tertentu
dapat digambarkan dengan ciri-ciri yang sama. Contohnya, kita akan terkejut
jika menjumpai supir taksi perempuan, karena profesi supir taksi biasanya
dijalankan oleh laki-laki.
Stereotype:
Generalisasi mengenai suatu
kelompok orang, di mana karakteristik tertentu diberikan kepada seluruh anggota
kelompok tersebut, tanpa mengindahkan adanya variasi yang ada pada
anggota-anggotanya.
Stereotip adalah proses kognitif, bukan
emosional. Stereotip tidak selalu mengarah pada tindakan yang sengaja dilakukan
untuk melecehkan. Seringkali stereotip hanyalah sebuah teknik yang kita gunakan
untuk menyederhanakan dalam melihat dunia. Namun bagaimanapun juga, stereotipe tidak boleh membutakan
manusia dalam melihat perbedaan-perbedaan individual yang ada, karena bila
demikian bersifat maladaptif, tidak adil, dan berpotensial untuk menjadi
sesuatu yang melecehkan.
Olahraga, Ras, dan Atribusi
Potensi
penyalahgunaan stereotype sebagai
jalan pintas mental terlihat jelas.
Contohnya,
suatu etnis tertentu dianggap pemalas, dan etnis lainnya dianggap serakah.
Namun
potensi tersebut dapat juga terselubung, bahkan mengandung atribut positif.
Contohnya,
kebanyakan orang cenderung menganggap bahwa orang kulit hitam mahir dalam
permainan bola basket, dan ketika menemukan seorang kulit hitam yang tidak
dapat bermain basket, kita akan terkejut. Bila demikian, kita menolak
individualitas orang kulit hitam tersebut.
Stereotip, Atribusi, dan Gender
Wanita
cenderung digambarkan memiliki perilaku yang lebih sensitif secara sosial,
ramah, dan lebih peduli atas kesejahteraan orang lain bila dibanding dengan
pria; sedangkan pria digambarkan cenderung berperilaku dengan cara yang lebih
dominan, mengontrol, dan mandiri.
Fenomena stereotip gender seringkali tidak
mencerminkan realitas. Misalnya, penelitian Deaux dan Emsweiler (1974)
menunjukkan bahwa ketika seorang pria berhasil pada tugas yang kompleks,
pengamat dari kedua jenis kelamin mengatribusi keberhasilan tsb disebabkan oleh
kemampuan yang dimiliki. Di sisi lain jika seorang wanita sukses dalam tugas
yang sama, pengamat mengatribusi kesuksesan tersebut disebabkan keberuntungan.
2. Diskriminasi: Komponen Perilaku
Diskriminasi:
Perilaku
negatif atau membahayakan terhadap anggota kelompok tertentu, semata-mata
karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut.
Di
Amerika, beberapa hasil penelitian selama dua dekade lalu menunjukkan bahwa
homoseksual menghadapi perlakuan diskriminatif dan antipati di hari-hari
kehidupan mereka. Tidak seperti perempuan, etnis minoritas, orang cacat,
homoseksual tidak dilindungi oleh hukum nasional yang melarang diskriminasi di
tempat kerja. Kaum homoseksual rentan terhadap diskriminasi dalam dunia
pekerjaan. Untuk melihat kemungkinan ini, Michelle Hebl dkk (2002) mengadakan
suatu eksperimen lapangan dengan menggunakan enam belas mahasiswa (delapan pria
dan delapan perempuan) yang mencoba untuk melamar pekerjaan di toko-toko lokal.
Dalam beberapa wawancara, mahasiswamahasiswa tersebut mengaku bahwa mereka
homoseksual dan dalam beberapa wawancara lain mereka tidak mengakuinya.
Mahasiswa-mahasiswa tersebut berpakaian jeans
dan jaket yang sama. Penelitian ini menguji dua jenis diskriminasi, yaitu formal discrimination dan interpersonal discrimination. Untuk mengukur
formal discrimination, peneliti mencoba melihat adanya perbedaan dalam perkataan employer
mengenai ketersediaan pekerjaan, perbedaan apakah employer mengizinkan mengisi formulir pekerjaaan, perbedaan apakah employer memberikan jawaban atas lamaran
kerja, dan perbedaan respon employer
ketika dimintai izin untuk pcrgi ke kamar kecil. Peneliti tidak menemukan
adanya perbedaan yang
signifikan mengenai hal ini. Namun peneliti melihat adanya indikasi interpersonal discrimination yang kuat terhadap kaum homoseksual. Dibandingkan
interaksi dengan mahasiswa yang tidak
mengaku homoseksual, employer kurang
positif secara verbal, menghabiskan waktu lebih sedikit untuk wawancara, tidak
terlalu banyak berbicara ketika mengobrol, dan melakukan lebih sedikit kontak
mata dengan mahasiswa yang mengaku homoseksual. Perilaku para employer ini menunjukkan adanya
ketidaknyamanan atau jarak terhadap orang yang mereka anggap homoseksual.
PENYEBAB PRASANGKA
1. Cara Berpikir : Kognisi Sosial
Penjelasan
pertama mengenai penyebab prasangka, bahwa prasangka adalah produk sampingan
yang tak terelakkan dari cara kita memproses dan mengatur informasi.
Kecenderungan kita untuk mengkategorikan dan mengelompokkan informasi,
membentuk skema dan menggunakannya dalam menafsirkan informasi baru atau unik,
mengandalkan pada heuristicts (jalan
pintas dalam penalaran mental) yang tidak akurat, dan bergantung pada proses
memori yang salah, dimana semua aspek kognisi sosial tersebut dapat membawa
kita membentuk stereotip negatif dan menerapkannya dengan cara diskriminatif.
Berikut ini beberapa sisi gelap kognisi sosial yang terkait dengan prasangka.
Kategorisasi sosial : Kita versus
Mereka
Langkah
pertama dalam prejudice adalah
terjadinya kategorisasi;
mengelompokkan orang berdasarkan karakteristik tertentu, seperti gender, kebangsaan, etnis, dan
sebagainya. Ketika bertemu orang-orang dengan karakteristik tertentu, manusia
akan bergantung pada persepsi yang dibentuk di masa lalu mengenai orang dengan
karakteristik tersebut untuk membantu menentukan reaksi dan perilaku untuk
mengahadapi orang dengan karakteristik tersebut. Sebagai contoh, Jane Elliot
(1977), seorang guru SD kelas 3 di Riceville, Iowa, mengelompokkan muridnya
berdasarkan warna mata mereka untuk mengajarkan tentang prasangka, karena
kehidupan murid-muridnya terlalu terlindungi dimana mereka semua berkulit putih
dan penganut agama Kristen. Elliot berkata pada murid-muridnya bahwa anak-anak
yang bermata biru merupakan anak-anak yang lebih superior dari anak yang hermata
cokelat. Perkataan Elliot mulai menunjukkan dampak yang signifikan, kelas yang
awalnya sangat kooperatif dan kohesif menjadi kelas yang sangat berbeda dari
sebelumnya.
Anak-anak
bermata biru yang merasa lebih superior mulai mengucilkan dan tidak mau bermain
bersama anak bermata cokelat. Anak-anak bermata cokelat menjadi tertekan dan
menghasilkan nilai tes yang buruk pada hari itu. Hari berikutnya Elliot
menyatakan bahwa pengelompokkan hari sebelumnya merupakan kesalahan besar, di
mana anak bermata cokelatlah yang sesungguhnya lebih superior dari anak-anak
bermata hiru. Pada hari itu suasana kelas bertukar; anak-anak bermata cokelat
melakukan 'pembalasannya' terhadap anak-anak bermata biru. Pada hari ketiga,
Elliot menyatakan
makna sesungguhnya dari apa yang telah mereka alami dua hari belakangan, dan
menjelaskan bahwa mereka telah belajar mengenai prasangka dan diskriminasi. Anak-anak mendiskusikan hal ini dan
mereka mengerti pesan yang disampaikan oleh Elliot. Elliot mengadakan pertemuan
kembali dengan murid-muridnya tsb setelah mereka berumur duapuluhan.
Murid-murid Elliot menyatakan bahwa pengalaman mereka terdahulu mengenai
prasangka dan diskriminasi sangat melekat dan membentuk mereka menjadi pribadi
yang sadar akan buruknya prasangka dan diskriminasi. Dalam kasus Elliot, pada hari pertama murid-murid bermata biru
melihat murid bermata coklat sebagai out-group,
berbeda, dan lebih inferior. Sebaliknya, murid bermata cokelat menganggap diri
mereka bukan anggota kelompok 'superior'.
In-group
Bias
In-Group Bias adalah perasaan positif dan perlakuan istimewa seseorang
kepada orang lain yang dianggap
bagian dari in-group, serta perasaan
negatif dan perlakuan yang tidak adil terhadap orang yang dianggap sebagai
bagian out-group.
Henri
Tajfel (1982), seorang psikolog sosial dari Inggris, menggarisbawahi motif
utama dari in-group bias, yaitu self~esteem: Individu berusaha
meningkatkan self~esteem dengan cara
mengidentifikasi dirinya ke dalam kelompok sosial tertentu. Namun, self-esteem hanya dapat meningkat jika
individu tersebut melihat kelompoknya sebagai kelompok yang lebih superior dari kelompok lain. Sebagai contoh,
bagi anggota Ku Klux Klan, tidak cukup hanya percaya bahwa ras kulit putih harus
dipisahkan dari ras lain, tapi mereka juga harus yakin akan superioritas
kelompok mereka agar merasa nyaman dan positif terhadap diri mereka.
Berdasarkan
berbagai penelitian yang dilakukan oleh Tajfel dkk maupun peneliti lainnya,
dapat disimpulkan bahwa walaupun hanya terdapat sedikit perbedaan antara in-group dan out-group tertentu, berada dalam in-group membuat individu
ingin 'menang' dari out-group, hal
ini membuat individu cenderung memperlakukan anggota out-group dengan tidak adil untuk dapat meningkatkan self-esteem. Ketika in-group betul-betul 'menang', hal ini memperkuat harga diri dan
identifikasi individu terhadap group tersebut.
Homogenitas Out-group
Penelitian mengenai out-group homogeneity dilakukan pada mahasiswa dua universitas yang
bersaing, yaitu Princeton dan Rutgers. Persaingan kedua universitas ini
berdasarkan pada bidang atletik, akademik, dan kesadaran kelas (Princeton
merupakan universitas swasta, sedangkan Rutgers universitas negeri). Partisipan
pria dari kedua universitas diminta untuk menyaksikan rekaman video mengenai tiga pria berbeda yang
diminta untuk menentukan keputusan. Contohnya, dalam satu video, eksperimenter
menanyakan pada pria dalam video
tentang jenis musik yang ingin didengarkan (musik rock atau klasik) ketika ia
berpartisipasi dalam eksperimen mengenai persepsi auditory. Para partisipan
diberitahu bahwa pria dalam video
merupakan mahasiswa Princeton atau Rutgers, maka bagi sebagian partisipan, pria
dalam video adalah anggota in-group dan bagi partisipan lain pria
tersebut adalah anggota out-group.
Setelah menyaksikan jenis musik pilihan pria dalam video, partisipan diminta untuk memprediksi persentase mahasiswa
laki-laki dari universitas tersebut yang memilih jenis musik yang sama.
Hasilnya, partisipan yang menganggap pria dalam video sebagai anggota out-group
memprediksi persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan partisipan yang
menganggap pria dalam video sebagai
anggota in-group. Hal ini mendukung
hipotesis out-group homogeneity: bila
kita mengetahui sesuatu mengenai
seorang anggota out-group, kita
cenderung merasa tahu mengenai semua anggota out-group.
Out-Group
Homogeneity:
Persepsi
bahwa individu-individu dari out-group
satu sama lain cenderung sama (homogeneous)
daripada kenyataannya, dan memiliki lebih banyak kesamaan dibandingkan dengan
individu anggota in-group.
Kegagalan Berpikir Logis
Kegagalan
berpikir logis (the failure of logic)
yaitu keadaan di mana emosi seseorang mengalahkan logikanya (untuk menerima
argumen yang logis). Orang-orang yang telah memiliki prasangka yang kuat akan
suatu hal akan sangat sulit untuk diubah cara pandangnya, bahkan orang yang
biasanya rasional sekalipun dapat menjadi kebal terhadap logika dan fakta
ketika berbicara mengenai hal-hal yang sudah menimbulkan prasanga tertentu.
Ada
dua hal yang menyebabkan hal ini, yaitu aspek afektif dan kognitif dari sikap (attitude). Aspek afektif atau emosi membuat seseorang sangat susah untuk
diubah cara pandang atau prasangkanya; seseorang yang telah mengembangkan
perasaan/emosi tertentu mengenai suatu hal cenderung memakai emosinya daripada
logika (argumen yang bersifat logis tidak efektif dalam melawan emosi). Aspek kognisi yang membuat logika gagal
adalah pemrosesan informasi. Seperti yang telah dibahas, dunia terlalu rumit
bagi manusia untuk memiliki pemikiran yang berbeda untuk setiap hal. Pikiran
manusia pada dasarnya kurang objektif, contohnya, ketika individu telah
membentuk skema mengenai kelompok tertentu, cara individu tersebut memproses
informasi mengenai kelompok tersebut akan berbeda dengan cara memproses
informasi mengenai kelompok lain. Ketika informasi yang diterima konsisten
dengan skema yang telah terbentuk, informasi ini akan lebih diperhatikan dan
akan lebih sering dilakukan atau diingat dibandingkan informasi yang berlawanan
dengan skema.
Kuatnya Stereotip
Pada dasarnya stereotype
merefleksikan keyakinan budaya mengenai hal tertentu. Individu dapat
menginternalisasi stereotype tersebut
dan menggunakannya sebagai bagian dari skema yang dimilikinya. Jika individu
tidak percaya pada stereotype yang
ada, ia dengan mudah akan mengakui stereotype
tersebut sebagai kepercayaan yang didukung oleh orang-orang lain.
Aktifasi Stereotip
Individu
dapat memiliki perasaan negatif atau sekedar mengetahui stereotip tertentu
mengenai suatu hal atau orang, namun mereka dapat menekan perasaan negatif
tersebut untuk menonjolkan fakta bahwa mereka adil (tidak berprasangka) dan
mengesampingkan stereotip yang ada. Walaupun demikian, perasaan negatif dan
stereotip sesungguhnya tetap ada dan tersembunyi di dalam diri, dan dapat
diaktivasi oleh stimulus yang ada.
Eksperimen
yang dilakukan oleh Rogers dan Prentice-Dunn (1981) membuktikan hal tsb.
Eksperimen ini dilakukan dengan partisipan siswa kulit putih. Para siswa
diberitahu bahwa mereka akan diminta melakukan sengatan listrik terhadap siswa
lain yang sedang belajar (the learners).
Partisipan diberitahu bahwa the learners
merupakan orang kulit putih dan hitam. Partisipan memberikan sengatan listrik
dengan intensitas yang lebih rendah kepada orang kulit hitam daripada orang
kulit putih, kemungkinan untuk menekan hasrat atau untuk menunjukkan bahwa
mereka bukan orang yang memiliki prasangka.
Suatu saat, partisipan mendengar the
learner memberikan komentar yang merendahkan terhadap mereka, yang secara
alami membuat mereka marah. Sctelah itu. dengan kekuasaan mereka untuk
melakukan sengatan listrik,
partisipan yang bertugas untuk orang kulit hitam memberikan sengatan listrik
dengan intensitas yang lebih kuat daripada partisipan yang bekerja dengan siswa
kulit putih. Partisipan berhasil menekan (suppress)
perasaan negatif mereka dalam kondisi normal, namun ketika merasa marah atau
frustasi, atau self~esteem mereka
goyah, mereka mengekspresikan prasangka secara langsung.
Proses Stereotip: Otomatis dan
Terkendali
Patricia Devine dkk menemukan bahwa anggota masyarakat
sama-sama menyimpan arsip stereotip yang dapat diakses dari pikirannya,
meskipun mungkin mereka tidak mempercayai stereotip tsb. Devine dkk membedakan
adanya dua pemrosesan informasi stereotip, yaitu pemrosesan otomatis dan
pemrosesan terkendali
Pemrosesan otomatis:
Terjadi
ketika ada stimulus yang memicu, adanya anggota kelompok yang distereotip dan
pernyataan yang mengandung stereotype,
mengakibatkan stereotype mengenai
kelompok tersebut teraktivasi. ~ Terjadinya tanpa disadari, terjadi begitu saja
dipicu oleh adanya suatu stimulus.
Pemrosesan terkendali:
Terjadi dengan kesadaran ~ individu memutuskan untuk mengikuti stereotype yang ada atau tidak.
Model Prasangka: Justification – Suppression
Berdasarkan penelitian-penelitian Divine dkk mengenai
dua jenis pemrosesan stereotip tersebut di atas, Crandall dan Eshleman (2004)
mengajukan suatu model teori yang menjelaskan bagaimana bekerjanya prasangka.
Menurut model ini, kebanyakan orang berjuang di antara kebutuhan untuk
mengekspresikan prasangka dan kebutuhan untuk mempertahankan konsep diri yang positif
(dalam hal ini tidak berprasangka) baik di mata mereka sendiri maupun di mata orang lain.
Seperti kita ketahui,
melakukan supresi (menekan) impuls prasangka akan memakan energi. Manusia selalu
menghindari pemakaian energi yang konstan sehingga selalu mencari pembenaran
yang valid mengenai sikap negatif mereka terhadap orang lain atau out-group (menghindari disonansi
kognitif). Ketika menemukan
pembenaran atas sikap negatif ini, kemudian kita dapat mengekspresikan sikap
negatif kepada out-group yang
dimaksud dan terhindar dari disonansi kognitif.
The
Illusory Correlation
Hal
lain yang membuat kita mengalami proses kognitif stereotip adalah karena adanya
ilusi
korelasi (illusory correlation), yaitu kecenderungan menghubungkan antara
dua hal yang sebenarnya tidak berhubungan. Sebagai contoh, adanya kepercayaan
bahwa pasangan yang belum mempunyai anak akan dapat mempunyai anak setelah
mengadopsi anak. Hal ini sebenamya sama sekali tidak berhubungan satu sama
lain. Pasangan yang terlebih dahulu mengadopsi dapat memperoleh anak
kemungkinan karena berkurangnya kecemasan dan tingkat stress-nya. Dalam konteks
stereotip dan prasangka, ilusi korelasi juga terjadi, yaitu ketika kita
menghubungkan hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan yang terjadi di antara
orang-orang atau situasi tertentu (khusus) dan lebih lanjut kita anggap berlaku
untuk semua anggota suatu kelompok.
Dapatkah kita mengubah stereotip
yang kita yakini?
Para peneliti telah menemukan bahwa ketika kepada
orang-orang disajikan beberapa contoh atau hal yang menyangkal stereotip yang
ada, kebanyakan hal itu tidak mengubah kepercayaan umum mereka. Namun , dalam
satu percobaan, beberapa orang yang disajikan dengan bukti, itu justru memperkuat
keyakinan stereotip mereka, karena bukti itu menantang mereka untuk mencari
alasan tambahan untuk berpegang pada keyakinan itu.
2. Bagaimana
Kita Menetapkan Makna: Macam-macam Bias Atribusi
Seperti
halnya kita membentuk atribusi terhadap perilaku seseorang, kita pun melakukan
atribusi (menyimpulkan penyebab perilaku) terhadap kelompok secara menyeluruh.
Berikut ini beberapa fenomena yang menggambarkan atribusi terhadap kelompok.
Penjelasan Disposisional dan
Situasional
Salah
satu mengapa stereotype sangat
melekat dalam kehidupan manusia adalah karena adanya kecenderungan untuk
melakukan dispositional attribution
(atribusi intemal), yaitu bahwa penyebab perilaku seseorang lebih dianggap
sebagai hasil dari aspek kepribadian orang itu dan bukan aspek situasional.
Kecenderungan ini biasa disebut “fundamental
attribution error” (kesalahan atribusi mendasar). Meskipun mengatribusi
perilaku orang-orang atas dasar faktor disposisional (internal) juga sering akurat, bagaimanapun perilaku manusia juga
dibentuk oleh situasi.
Oleh sebab itu bila terlalu bersandar
pada atribusi
disposisional, seringkali membuat atribusi kita salah. Berdasarkan
proses yang terjadi pada tingkat individu ini, kita dapat membayangkan
masalah dan komplikasi yang muncul ketika kita melakukannya terhadap
seluruh anggora kelompok pada out-group. Stereotip merupakan atrubusi
disposisional yang negatif. Thomas Pettigrew (1979) menyebut
kecenderungan untuk membuat atribusi disposisional tentang perilaku
negatif individu dan mengenakannya untuk seluruh anggora kelompok ini
sebagai "ultimate attrubution error"
Ultimate
Attribution Error :
Kecenderungan
melakukan atribusi disposisional kepada seluruh anggota kelompok.
Ancaman Stereotip
Secara
statistik terdapat perbedaan kinerja dalam tes kemampuan akademik antar
berbagai kelompok budaya. Misalnya, di Amerika, orang-orang Amerika-Asia
rata-rata kinerjanya agak lebih baik daripada kelompok Amerika-Anglo, dan
kelompok Amerika-Anglo sedikit lebih baik daripada kelompok Amerika-Afrika.
Mengapa hal ini terjadi? Beberapa hal yang dapat menjadi penjelasan antara lain
faktor ekonomi, budaya, sejarah, politik. Selain itu, terdapat penjelasan lain,
yaitu adanya kecemasan yang dihasilkan oleh stereotip negatif. Dalam
serangkaian eksperimen, Claude, Steele, Joshua Aronson, dkk telah menunjukkan
adanya satu faktor situasional yang dominan (yang menentukan kinerja dalam tes
akademik) yang didasari fenemona yang mereka sebut sebagai ancaman stereotip.
Ancaman Stereotip (Stereotype Threat):
Ketakutan
yang dialami oleh anggota suatu kelompok bahwa perilaku mereka dapat
membenarkan stereotip budaya mengenai kelompoknya.
Sebagai
contoh, bila orang Amerika-Afrika meraih nilai akademik yang tinggi, sebagian
besar dari mereka mengonfirmasi adanya stereotip budaya yang negatif, yakni
inferioritas intelektual. Akibatnya, mereka mengatakan “Jika nilai saya buruk
dalam tes ini, hal ini akan mencerminkan lemahnya saya dan ras saya”.
Harapan dan Penyimpangan Stereotip
Ketika anggota kelompok lain (outgroup) berperilaku seperti yang kita harapkan, hal ini akan
menegaskan dan bahkan menguatkan stereotip kita. Tapi apa yang terjadi ketika
anggota suatu outgroup
berperilaku dengan cara yang tak terduga (nonstereotypical)?
Menurut teori atribusi, individu akan cenderung tetap menganggap bahwa
orang yang berperilaku berlawanan dengan stereotip, sebenarnya memiliki kesamaan dengan stereotype tersebut, hanya saja hal itu tidak tampak dengan jelas
dalam situasi tertentu.
Sebagai
contoh, kita diberitahu bahwa seseorang merupakan orang yang tidak ramah,
kemudian kita berinteraksi dengan orang tersebut dan menemukan bahwa orang tersebut
berperilaku ramah. Dalam keadaan seperti itu kita cenderung menganggap bahwa
perilaku ramah orang tersebut adalah palsu, dan di balik keramahannya
sebenarnya ia adalah orang yang tidak suka berteman. Dalam hal ini kita
melakukan atribusi disposisional/internal (dispositional
attribution), disebabkan adanya stereotip disposisional (dispositional stereotype) yang sudah
tertanam di benak kita.
Menyalahkan Korban
Sulit
bagi orang yang jarang didiskriminasi untuk memahami bagaimana rasanya menjadi
sasaran prasangka. Anggota masyarakat Amerika yang dominan yang berniat baik
akan bersimpati dengan nasib mereka yang minoritas: orang-orang Afrika Amerika,
Hispanik Amerika, Asia Amerika, Yahudi, perempuan, homoseksual, dan kelompok
lain yang menjadi sasaran diskriminasi. Tetapi empati saja sebenarnya tidak
mudah didapatkan bagi mereka yang telah secara rutin dinilai berdasarkan
reputasi mereka, bukan karena ras, etnis, agama, atau kelompok keanggotaan
lainnya. Padahal, ketika tidak ada empati, mudah untuk masuk dalam perangkap ‘menyalahkan korban’ (blaming
the victim). Berlangsungnya atribusi seperti ini: “Jika orang-orang Yahudi telah
menjadi korban dalam sejarah mereka, mereka pasti telah melakukan sesuatu yang
memungkinkan terjadinya hal tersebut”.
Menyalahkan Korban (Blaming the Victim):
Kecenderungan
untuk menyalahkan individu atas situasi atau kejadian yang menimpanya, biasanya
dimotivasi oleh cara pandang 'the world is a fair place'.
Sebagai
contoh, dalam suatu eksperimen, dua orang yang bekerja sama kerasnya dalam
melakukan suatu tugas, berdasarkan undian dengan koin, salah satunya menerimaa
imbalan yang besar, dan yang lain tidak menerima apapun. Observer yang melihat hasil yang berbeda tsb (adanya imbalan atau
tidak ada imbalan) cenderung kembali
menilai pekerjaan yang dilakukan kedua orang tersebut, dan meyakinkan dirinya
bahwa orang yang tidak mendapat imbalan kurang bekerja keras dalam
menyelesaikan tugas.
Self-Fulfilling
Prophecies
Jika
Anda yakin bahwa Si A bodoh dan memperlakukannya sebagai orang bodoh, meskipun
sebenarnya tidak, sangat mungkin ia tidak akan menunjukkan kepintaran di hadapan Anda. Keadaan seperti ini
merupakan Self-Fulfilling Prophecy
Self-Fulfilling
Prophecies:
Keadaan
di mana individu: (1) memiliki ekspektasi tertentu terhadap
seseorang;
(2) yang kemudian mempengaruhi perilaku individu terhadap orang lain tersebut;
(3) yang menyebabkan orang lain tersebut berperilaku sesuai dengan ekspektasi
awal individu.
Bagaimana
hal ini terjadi? Jika Anda melihat Si A, Anda mungkin tidak akan mengajukan
pertanyaan menarik, dan tidak mendengarkan dengan penuh perhatian pada saat ia
berbicara, bahkan mungkin Anda melihat keluar jendela atau menghindar. Anda
memperlakukan demikian karena harapan yang sederhana: “Mengapa membuang energi
memperhatikan Si A jika dia tidak mungkin mengatakan hal-hal yang cerdas atau
menarik?” Hal ini memiliki dampak penting pada perilaku Si A, karena jika seseorang
yang sedang berbicara tidak mendapat perhatian, tentu saja ia akan merasa tidak
nyaman dan mungkin akan bungkam, tidak menampilkan semua puisi dan
kebijaksanaan dalam dirinya. Keadaan ini berfungsi mengonfirmasi keyakinan awal
yang Anda miliki tentang dia, sehingga terjadilah lingkaran tertutup self-fulfilling prophecy.
Para peneliti menunjukkan relevansi dari fenomena ini
untuk stereotip dan diskriminasi dalam suatu eksperimen (Word, Zanna, &
Cooper, 1974). Mahasiswa perguruan tinggi kulit putih diminta untuk
mewawancarai pelamar pekerjaan; beberapa pelamar berkulit putih, dan lainnya
orang Afrika Amerika. Tanpa disadari, para mahasiswa menampilkan
ketidaknyamanan dan kurangnya minat ketika mewawancarai pelamar Afrika Amerika.
Mereka duduk lebih jauh; cenderung gagap, dan mengakhiri wawancara jauh lebih
cepat dibanding ketika mereka mewawancarai pelamar kulit putih. Apakah perilaku
ini mempengaruhi pelamar Afrika Amerika? Untuk mengetahuinya, para peneliti
melakukan eksperimen lanjutan di mana mereka mengatur perilaku pewawancara
(oleh pembantu eksperimenter) dibuat bervariasi sesuai dengan cara pewawancara
memperlakukan orang kulit putih atau orang Afrika Amerika pada percobaan
pertama, tapi pada eksperimen kedua ini semua yang diwawancarai adalah kulit
putih. Para peneliti merekam prosesnya dan perilaku pelamar dinilai oleh
penilai independen (bukan peneliti). Dalam eksperimen kedua ini mereka
menemukan bahwa para pelamar (semua kulit putih) yang diwawancarai ala wawancara untuk orang Afrika Amerika,
dinilai jauh lebih gugup dan jauh kurang efektif dibanding dengan mereka yang
diwawancarai ala wawancara dengan
pelamar kulit putih pada percobaan pertama. Singkatnya, eksperimen ini
menunjukkan dengan jelas bahwa ketika orang-orang ditempatkan di posisi yang
kurang menguntungkan, maka cenderung merespon dengan kurang baik.
Prasangka dan Kompetisi: Realistic Conflict Theory
Salah
satu sumber konflik yang paling menonjol atas konflik dan prasangka adalah
kompetisi untuk sumber daya langka, politik kekuasaan, dan status sosial.
Masalah sesederhana apapun dalam fenomena ingroup
vs outgroup, akan diperbesar oleh persaingan ekonomi, politik, atau status.
Realistic
Conflict Theory menyatakan bahwa sumber daya yang terbatas menyebabkan
konflik antara kelompok-kelompok dan menghasilkan prasangka dan diskriminasi
(Jackson, 1993; Sherif, 1966; White, 1977). Dengan demikian sikap berprasangka
cenderung meningkat saat-saat tegang dan konflik ada atas tujuan
mutually.exclusive. Misalnya, Prasangka sangat tinggi di antara orang-orang
Palestina dan Israel yang memperebutkan daerah teritorial. Individu mempunyai
kecenderungan untuk menyalahkan anggota out-group
yang berkompetisi dengannya atas kelangkaan sumber daya.
Realistic
Conflict Theory:
Dalam
keadaan sumberdaya yang terbatas , terdapat risiko terjadinya frustasi dan
ketidakbahagiaan, diikuti kecenderungan menyerang kelompok yang tidak disukai.
Hal ini disebut scapegoating
(mengambinghitamkan).
Mengambinghitamkan (Scapegoating):
kecenderungan
individu-individu, bila frustrasi atau tidak bahagia, mengarahkan agresi kepada
kelompok yang tidak disukai dan relative lemah.
Cara Kita Melakukan Konformitas:
Aturan-aturan Normatif
Penyebab
terakhir prasangka adalah konformitas, baik terhadap normaa standar yang
berlaku maupun terhadap aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Konformitas
memiliki motif tertentu, seperti untuk memperoleh informasi (informational confiJrmity) atau agar
diterima oleh kelompok tertentu
(normative conformity). Ketika melibatkan prejudice, maka konformitas akan menjadi berbahaya.
Bila Prasangka Diinstitusikan
Norma
adalah aturan atau batasan yang dianggap benar oleh masyarakat. Setiap budaya
memiliki norma tertentu. Ketika individu hidup di lingkungan yang mempunyai
norma yang mengandung stereotip dan diskriminasi, maka individu tersebut secara
tidak sadar akan mengembangkan prasangka dan diskriminasi di dalam diri. Hal
ini disebut institutionalized racism
dan institutionalized sexism.
Institutionalized
racism: Sikap membedakan ras (rasis) yang
dimiliki oleh mayoritas orang-orang yang hidup dalam masyarakat di mana
terdapat norma stereotip dan diskriminasi.
Institutionalized
sexism: Sikap pembedaan jenis kelamin (seksisme) yang
dimiliki oleh mayoritas orang-orang yang hidup dalam masyarakat di mana
terdapat norma stereotip dan diskriminasi
Prasangka
Modern
Zaman
berubah, dan norma budaya semakin memberikan toleransi terhadap out-group. Hal ini membuat banyak orang
menjadi lebih berhati-hati terhadap perilakunya
dengan tidak menunjukkan prejudice
kepada khayalak luar, namun tetap berpegang kepada stereotip yang diyakini.
Fenomena ini dikenal sebagai modern
racism. Orang menghindar dari cap rasis namun ketika situasi sudah 'aman',
prasangka mereka akan terkuak.
Prasangka Modern:
Berperilaku
yang tidak mencerminkan prejudice, namun tetap mempertahankan
sikap berprasangka di dalam diri.
Sebagai
contoh: Walaupun hanya ada sedikit orang Amerika yang mengaku bahwa mereka
tidak setuju dengan penggabungan sekolah, ternyata kebanyakan orangtua berkulit
putih tidak setuju untuk membiarkan anak mereka naik bus ke sekolah untuk
mendapatkan keseimbangan rasia! Ketika ditanya, para orangtua ini bersikeras
bahwa keengganan mereka tidak ada hubungannya dengan prejudice; mereka hanya tidak ingin anak mereka menghabiskan banyak
waktu di bus. Tetapi menurut John McConahay (1981), Kebanyakan orangtua kulit
putih tidak banyak banyak protes ketika anak mereka menaiki bus yang jalurnya
hanya melalui sekolah orang kulit putih.
C. BAGAIMANA CARA MENGURANGI PRASANGKA?
Pettigrew dan Tropp (dalam
Aronson, 2007) mengatakan bahwa kontak antar ras merupakan hal yang baik. Dalam
kenyataannya, kontak tidak selalu dapat mengurangi prasangka. Berdasarkan penelitian dan eksperimen yang dilakukan
oleh Sherif, dkk (1961) terhadap kamp anak laki-laki, di mana dua kubu (EaKles dan Rattlers) saling bersaing, terdapat enam kondisi dalam kontak yang
dapat mengurangi prasangka:
Peneliti menempatkan dua kubu yang bersaing dalam
suatu keadaan yang membuat mereka saling tergantung satu sama lain (mutual interdependence) (Kondisi pertama)
untuk mencapai tujuan tertentu (Kondisi kedua). Contohnya, peneliti membuat
sebuah keadaan darurat dengan merusak sistem suplai air. Satu-satunya cara
untlik menyelesaikan masalah ini adalah dengan bersatunya Eagles dan Rattlers.
Mutual Interdependence:
Kondisi ketiga, ketika status
individu berbeda, interaksi atau kontak dapat berujung pada pola stereotype yang ada, seperti ketika bos
berbicara pada pegawainya, maka sang bos akan berperilaku sesuai stereotip umum
mengenai bos. Pada intinya, kontak seharusnya membuat orang belajar bahwa stereotype (khususnya stereotype negatif) mereka salah. Dengan
kesetaraan status antar individu. tidak ada yang lebih berkuasa dibandingkan
siapapun, dan prejudice pun dapat
tereduksi (berkurang).
Kondisi keempat, menempatkan dua
kelompok yang berbeda dalam satu ruangan tidak dapat dengan mudah mengurangi prejudice karena masing-masing individu
akan tetap terfokus pada kelompoknya. Individu dapat lebih mengenal dan
memahami individu lainnya jika berada dalam keadaan one-to-one basis, dimana interaksi yang dilakukan lebih bersifat
interpersonal. Melalui interaksi bersahabat dan informal dengan beberapa
anggota out-group, individu dapat
lebih memahami bahwa stereotip yang dipercayainya ternyata salah.
Kondisi kelima, melalui
persahabatan, interaksi informal dengan berbagai anggota (multiple members) out-group,
seorang individu akan belajar bahwa keyakinan-nya tentang out-group adalah salah.
Kondisi keenam, adanya norma yang
mempromosikan dan mendukung kesetaraan di antara kelompok (Amir, 1969; Wilder,
1984). Norma sosial yang kuat, dapat dimanfaatkan untuk memotivasi orang untuk
menjangkau anggota kelompok luar. Sebagai contoh, jika bos atau profesor
menciptakan dan memperkuat norma penerimaan dan toleransi di tempat kerja atau
di dalam kelas, anggota kelompok akan mengubah perilaku mereka agar sesuai
norma tersebut.
Sebagai ringkasan dari ilustrasi
di atas, kelompok-kelompok yang bermusuhan akan mengurangi stereotip,
prasangka, dan diskriminasi ketika terdapat keenam kondisi kontak (Aronson
& Bridgeman, 1979; Cook, 1984; Riordan, 1978):
- Rasa saling ketergantungan
- Suatu tujuan bersama
- Status seimbang
- Kontak informal, interpersonal
- Beberapa kontak
- Norma sosial dan kesetaraan
Reference
Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam
Widyarini Bab 13
0 komentar:
Posting Komentar