Kamis, 29 Juni 2017

Apa itu Prasangka (Prejudice) ?

Prasangka : Fenomena sosial (terjadi) di mana-mana

Prasangka terjadi di mana-mana dalam berbagai bentuk, dan hal itu memengaruhi kita semua. Prasangka dapat terjadi dalam dua arah: mengalir dari kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas, dan sebaliknya. Kelompok manapun dapat menjadi sasaran prasangka. Banyak aspek dari identitas kita yang dapat menyebabkan kita diberi label dan didiskriminasi, antara lain kebangsaan, ras, etnis, jenis kelamin, orientasi seksual, agama, penampilan fisik, negara, dll.

Beberapa orang memiliki sikap negatif tentang pekerja kerah biru, ada pula yang bersikap negatif terhadap para CEO, dsb. Intinya adalah bahwa tidak satupun dari kita yang benar-benar tidak cedera oleh prasangka; prasangka adalah masalah umum untuk seluruh umat manusia. Ketidaksukaan terhadap suatu kelompok yang berlangsung terus-menerus akibatnya dapat meningkatkan kebencian ekstrim, bahkan dapat diikuti dengan tindakan menyiksa dan membunuh. Salah satu konsekuensi dari seringnya menjadi target prasangka terus-menerus adalah penurunan harga diri seseorang.

Prasangka dan Harga Diri

Anak-anak Amerika Afrika, bahkan yang masih berumur 3 tahun nampaknya sudah berpikir tidak menginginkan menjadi orang kulit hitam. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian Clark dan Clark (1947): Anak-anak ditawari pilihan antara bermain dengan boneka kulit putih atau bermain dengan boneka kulit hitam. Sebagian besar dari mereka menolak boneka hitam, mereka merasa bahwa boneka putih lebih cantik dan lebih unggul.

Perasaan rendah diri nampaknya telah menyebabkan penindasan terhadap kelompoknya sendiri. Misalnya, penelitian Goldberg (1968) menunjukkan bahwa perempuan dari budaya Afrika-Amerika telah belajar menganggap diri mereka secara intelektual lebih rendah dari pria. Dalam eksperimennya, Goldberg meminta para mahasiswi untuk membaca artikel ilmiah dan mengevaluasinya dalam hal kompetensi dan gaya penulisan. Untuk sebagian subjek, penulis artikel ilmiah itu ditulis dengan nama pria (John T. Mc.Kay), dan untuk sebagian subjek lainnya, artikel ilmiah yang sama itu nama penulisnya ditulis dengan nama wanita (Joan T. Mc.Kay). Hasilnya ternyata para mahasiswi itu menilai lebih tinggi dalam kondisi artikel ilmiah itu diinformasikan sebagai tulisan seorang pria.

Hasil penelitian Clark & Clark (1947) dan Goldberg (1968) di atas menunjukkan adanya warisan prasangka dalam suatu masyarakat.

A. DEFINISI PRASANGKA
Prasangka merupakan sikap. Sikap terdiri dari tiga komponen:

  • komponen afektif atau emosional , mewakili kedua jenis emosi yang berkaitan dengan sikap (misalnya, kemarahan, kehangatan) dan ekstremitas sikap (misalnya, kegelisahan ringan, permusuhan langsung)
  • komponen kognitif , yang melibatkan keyakinan atau pikiran-pikiran yang membentuk sikap.
  • komponen perilaku, berkaitan dengan tindakan seseorang. Sikap biasanya diikuti dengan perilaku (meskipun tidak selalu).
Prasangka, menunjuk pada struktur sikap umum dengan komponen afektifnya (emosional). Prasangka, bisa positif atau negatif, namun para psikolog sosial (dan orang-orang pada umumnya) menggunakan kata prasangka terutama menunjuk pada sikap negatif terhadap orang lain. Prasangka dalam konteks ini didefinisikan sebagai:


‚Sikap negatif terhadap individu atau sekelompok individu tertentu, yang hanya didasarkan pada keanggotaan individu tersebut dalam kelompok tertentu.‛
 
1. Stereotip : Komponen Kognitif

Istilah stereotype pertama kali diperkenalkan oleh Jumalis Walter Lippmann (1992). Ia menggambarkan stereotype sebagai "The little pictures we carry around inside our head", dimana gambaran-gambaran tersebut merupakan skema mengenai kelompok. Budaya atau kelompok tertentu dapat digambarkan dengan ciri-ciri yang sama. Contohnya, kita akan terkejut jika menjumpai supir taksi perempuan, karena profesi supir taksi biasanya dijalankan oleh laki-laki.

Stereotype:

Generalisasi mengenai suatu kelompok orang, di mana karakteristik tertentu diberikan kepada seluruh anggota kelompok tersebut, tanpa mengindahkan adanya variasi yang ada pada anggota-anggotanya.
 

Stereotip adalah proses kognitif, bukan emosional. Stereotip tidak selalu mengarah pada tindakan yang sengaja dilakukan untuk melecehkan. Seringkali stereotip hanyalah sebuah teknik yang kita gunakan untuk menyederhanakan dalam melihat dunia. Namun bagaimanapun juga, stereotipe tidak boleh membutakan manusia dalam melihat perbedaan-perbedaan individual yang ada, karena bila demikian bersifat maladaptif, tidak adil, dan berpotensial untuk menjadi sesuatu yang melecehkan.
Olahraga, Ras, dan Atribusi
Potensi penyalahgunaan  stereotype  sebagai jalan  pintas mental terlihat jelas.

Contohnya, suatu etnis tertentu dianggap pemalas, dan etnis lainnya dianggap serakah.
Namun potensi tersebut dapat juga terselubung, bahkan mengandung atribut positif.
Contohnya, kebanyakan orang cenderung menganggap bahwa orang kulit hitam mahir dalam permainan bola basket, dan ketika menemukan seorang kulit hitam yang tidak dapat bermain basket, kita akan terkejut. Bila demikian, kita menolak individualitas orang kulit hitam tersebut.

Stereotip, Atribusi, dan Gender

Wanita cenderung digambarkan memiliki perilaku yang lebih sensitif secara sosial, ramah, dan lebih peduli atas kesejahteraan orang lain bila dibanding dengan pria; sedangkan pria digambarkan cenderung berperilaku dengan cara yang lebih dominan, mengontrol, dan mandiri.

Fenomena stereotip gender seringkali tidak mencerminkan realitas. Misalnya, penelitian Deaux dan Emsweiler (1974) menunjukkan bahwa ketika seorang pria berhasil pada tugas yang kompleks, pengamat dari kedua jenis kelamin mengatribusi keberhasilan tsb disebabkan oleh kemampuan yang dimiliki. Di sisi lain jika seorang wanita sukses dalam tugas yang sama, pengamat mengatribusi kesuksesan tersebut disebabkan keberuntungan.

2. Diskriminasi: Komponen Perilaku

Ketika stereotype menimbulkan perilaku yang tidak adil terhadap orang lain, maka telah terjadi diskriminasi

Diskriminasi:

Perilaku negatif atau membahayakan terhadap anggota kelompok tertentu, semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut.

Di Amerika, beberapa hasil penelitian selama dua dekade lalu menunjukkan bahwa homoseksual menghadapi perlakuan diskriminatif dan antipati di hari-hari kehidupan mereka. Tidak seperti perempuan, etnis minoritas, orang cacat, homoseksual tidak dilindungi oleh hukum nasional yang melarang diskriminasi di tempat kerja. Kaum homoseksual rentan terhadap diskriminasi dalam dunia pekerjaan. Untuk melihat kemungkinan ini, Michelle Hebl dkk (2002) mengadakan suatu eksperimen lapangan dengan menggunakan enam belas mahasiswa (delapan pria dan delapan perempuan) yang mencoba untuk melamar pekerjaan di toko-toko lokal. Dalam beberapa wawancara, mahasiswamahasiswa tersebut mengaku bahwa mereka homoseksual dan dalam beberapa wawancara lain mereka tidak mengakuinya. Mahasiswa-mahasiswa tersebut berpakaian jeans dan jaket yang sama. Penelitian ini menguji dua jenis diskriminasi, yaitu formal discrimination dan interpersonal discrimination. Untuk mengukur formal discrimination, peneliti mencoba melihat adanya perbedaan dalam perkataan employer mengenai ketersediaan pekerjaan, perbedaan apakah employer mengizinkan mengisi formulir pekerjaaan, perbedaan apakah employer memberikan jawaban atas lamaran kerja, dan perbedaan respon employer ketika dimintai izin untuk pcrgi ke kamar kecil. Peneliti tidak menemukan adanya perbedaan yang signifikan mengenai hal ini. Namun peneliti melihat adanya indikasi interpersonal discrimination yang kuat terhadap kaum homoseksual. Dibandingkan interaksi dengan mahasiswa yang tidak mengaku homoseksual, employer kurang positif secara verbal, menghabiskan waktu lebih sedikit untuk wawancara, tidak terlalu banyak berbicara ketika mengobrol, dan melakukan lebih sedikit kontak mata dengan mahasiswa yang mengaku homoseksual. Perilaku para employer ini menunjukkan adanya ketidaknyamanan atau jarak terhadap orang yang mereka anggap homoseksual.

PENYEBAB PRASANGKA

1.         Cara Berpikir : Kognisi Sosial

Penjelasan pertama mengenai penyebab prasangka, bahwa prasangka adalah produk sampingan yang tak terelakkan dari cara kita memproses dan mengatur informasi. Kecenderungan kita untuk mengkategorikan dan mengelompokkan informasi, membentuk skema dan menggunakannya dalam menafsirkan informasi baru atau unik, mengandalkan pada heuristicts (jalan pintas dalam penalaran mental) yang tidak akurat, dan bergantung pada proses memori yang salah, dimana semua aspek kognisi sosial tersebut dapat membawa kita membentuk stereotip negatif dan menerapkannya dengan cara diskriminatif. Berikut ini beberapa sisi gelap kognisi sosial yang terkait dengan prasangka.

Kategorisasi sosial : Kita versus Mereka

Langkah pertama dalam prejudice adalah terjadinya kategorisasi; mengelompokkan orang berdasarkan karakteristik tertentu, seperti gender, kebangsaan, etnis, dan sebagainya. Ketika bertemu orang-orang dengan karakteristik tertentu, manusia akan bergantung pada persepsi yang dibentuk di masa lalu mengenai orang dengan karakteristik tersebut untuk membantu menentukan reaksi dan perilaku untuk mengahadapi orang dengan karakteristik tersebut. Sebagai contoh, Jane Elliot (1977), seorang guru SD kelas 3 di Riceville, Iowa, mengelompokkan muridnya berdasarkan warna mata mereka untuk mengajarkan tentang prasangka, karena kehidupan murid-muridnya terlalu terlindungi dimana mereka semua berkulit putih dan penganut agama Kristen. Elliot berkata pada murid-muridnya bahwa anak-anak yang bermata biru merupakan anak-anak yang lebih superior dari anak yang hermata cokelat. Perkataan Elliot mulai menunjukkan dampak yang signifikan, kelas yang awalnya sangat kooperatif dan kohesif menjadi kelas yang sangat berbeda dari sebelumnya.

Anak-anak bermata biru yang merasa lebih superior mulai mengucilkan dan tidak mau bermain bersama anak bermata cokelat. Anak-anak bermata cokelat menjadi tertekan dan menghasilkan nilai tes yang buruk pada hari itu. Hari berikutnya Elliot menyatakan bahwa pengelompokkan hari sebelumnya merupakan kesalahan besar, di mana anak bermata cokelatlah yang sesungguhnya lebih superior dari anak-anak bermata hiru. Pada hari itu suasana kelas bertukar; anak-anak bermata cokelat melakukan 'pembalasannya' terhadap anak-anak bermata biru. Pada hari ketiga, Elliot menyatakan makna sesungguhnya dari apa yang telah mereka alami dua hari belakangan, dan menjelaskan bahwa mereka telah belajar mengenai prasangka dan diskriminasi. Anak-anak mendiskusikan hal ini dan mereka mengerti pesan yang disampaikan oleh Elliot. Elliot mengadakan pertemuan kembali dengan murid-muridnya tsb setelah mereka berumur duapuluhan. Murid-murid Elliot menyatakan bahwa pengalaman mereka terdahulu mengenai prasangka dan diskriminasi sangat melekat dan membentuk mereka menjadi pribadi yang sadar akan buruknya prasangka dan diskriminasi. Dalam kasus Elliot, pada hari pertama murid-murid bermata biru melihat murid bermata coklat sebagai out-group, berbeda, dan lebih inferior. Sebaliknya, murid bermata cokelat menganggap diri mereka bukan anggota kelompok 'superior'.
  

In-group Bias

In-Group Bias adalah perasaan positif dan perlakuan istimewa seseorang kepada orang lain yang dianggap bagian dari in-group, serta perasaan negatif dan perlakuan yang tidak adil terhadap orang yang dianggap sebagai bagian out-group.

Henri Tajfel (1982), seorang psikolog sosial dari Inggris, menggarisbawahi motif utama dari in-group bias, yaitu self~esteem: Individu berusaha meningkatkan self~esteem dengan cara mengidentifikasi dirinya ke dalam kelompok sosial tertentu. Namun, self-esteem hanya dapat meningkat jika individu tersebut melihat kelompoknya sebagai kelompok yang lebih superior dari kelompok lain. Sebagai contoh, bagi anggota Ku Klux Klan, tidak cukup hanya percaya bahwa ras kulit putih harus dipisahkan dari ras lain, tapi mereka juga harus yakin akan superioritas kelompok mereka agar merasa nyaman dan positif terhadap diri mereka.

Berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan oleh Tajfel dkk maupun peneliti lainnya, dapat disimpulkan bahwa walaupun hanya terdapat sedikit perbedaan antara in-group dan out-group tertentu, berada dalam in-group membuat individu ingin 'menang' dari out-group, hal ini membuat individu cenderung memperlakukan anggota out-group dengan tidak adil untuk dapat meningkatkan self-esteem. Ketika in-group betul-betul 'menang', hal ini memperkuat harga diri dan identifikasi individu terhadap group tersebut.

Homogenitas Out-group

Penelitian mengenai out-group homogeneity dilakukan pada mahasiswa dua universitas yang bersaing, yaitu Princeton dan Rutgers. Persaingan kedua universitas ini berdasarkan pada bidang atletik, akademik, dan kesadaran kelas (Princeton merupakan universitas swasta, sedangkan Rutgers universitas negeri). Partisipan pria dari kedua universitas diminta untuk menyaksikan rekaman video mengenai tiga pria berbeda yang diminta untuk menentukan keputusan. Contohnya, dalam satu video, eksperimenter menanyakan pada pria dalam video tentang jenis musik yang ingin didengarkan (musik rock atau klasik) ketika ia berpartisipasi dalam eksperimen mengenai persepsi auditory. Para partisipan diberitahu bahwa pria dalam video merupakan mahasiswa Princeton atau Rutgers, maka bagi sebagian partisipan, pria dalam video adalah anggota in-group dan bagi partisipan lain pria tersebut adalah  anggota out-group. Setelah menyaksikan jenis musik pilihan pria dalam video, partisipan diminta untuk memprediksi persentase mahasiswa laki-laki dari universitas tersebut yang memilih jenis musik yang sama. Hasilnya, partisipan yang menganggap pria dalam video sebagai anggota out-group memprediksi persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan partisipan yang menganggap pria dalam video sebagai anggota in-group. Hal ini mendukung hipotesis out-group homogeneity: bila kita mengetahui sesuatu mengenai seorang anggota out-group, kita cenderung merasa tahu mengenai semua anggota out-group.

Out-Group Homogeneity:

Persepsi bahwa individu-individu dari out-group satu sama lain cenderung sama (homogeneous) daripada kenyataannya, dan memiliki lebih banyak kesamaan dibandingkan dengan individu anggota in-group.


Kegagalan Berpikir Logis

Kegagalan berpikir logis (the failure of logic) yaitu keadaan di mana emosi seseorang mengalahkan logikanya (untuk menerima argumen yang logis). Orang-orang yang telah memiliki prasangka yang kuat akan suatu hal akan sangat sulit untuk diubah cara pandangnya, bahkan orang yang biasanya rasional sekalipun dapat menjadi kebal terhadap logika dan fakta ketika berbicara mengenai hal-hal yang sudah menimbulkan prasanga tertentu.

Ada dua hal yang menyebabkan hal ini, yaitu aspek afektif dan kognitif dari sikap (attitude). Aspek afektif atau emosi membuat seseorang sangat susah untuk diubah cara pandang atau prasangkanya; seseorang yang telah mengembangkan perasaan/emosi tertentu mengenai suatu hal cenderung memakai emosinya daripada logika (argumen yang bersifat logis tidak efektif dalam melawan emosi). Aspek kognisi yang membuat logika gagal adalah pemrosesan informasi. Seperti yang telah dibahas, dunia terlalu rumit bagi manusia untuk memiliki pemikiran yang berbeda untuk setiap hal. Pikiran manusia pada dasarnya kurang objektif, contohnya, ketika individu telah membentuk skema mengenai kelompok tertentu, cara individu tersebut memproses informasi mengenai kelompok tersebut akan berbeda dengan cara memproses informasi mengenai kelompok lain. Ketika informasi yang diterima konsisten dengan skema yang telah terbentuk, informasi ini akan lebih diperhatikan dan akan lebih sering dilakukan atau diingat dibandingkan informasi yang berlawanan dengan skema.

Kuatnya Stereotip

Pada dasarnya stereotype merefleksikan keyakinan budaya mengenai hal tertentu. Individu dapat menginternalisasi stereotype tersebut dan menggunakannya sebagai bagian dari skema yang dimilikinya. Jika individu tidak percaya pada stereotype yang ada, ia dengan mudah akan mengakui stereotype tersebut sebagai kepercayaan yang didukung oleh orang-orang lain.

Aktifasi Stereotip

Individu dapat memiliki perasaan negatif atau sekedar mengetahui stereotip tertentu mengenai suatu hal atau orang, namun mereka dapat menekan perasaan negatif tersebut untuk menonjolkan fakta bahwa mereka adil (tidak berprasangka) dan mengesampingkan stereotip yang ada. Walaupun demikian, perasaan negatif dan stereotip sesungguhnya tetap ada dan tersembunyi di dalam diri, dan dapat diaktivasi oleh stimulus yang ada.

Eksperimen yang dilakukan oleh Rogers dan Prentice-Dunn (1981) membuktikan hal tsb. Eksperimen ini dilakukan dengan partisipan siswa kulit putih. Para siswa diberitahu bahwa mereka akan diminta melakukan sengatan listrik terhadap siswa lain yang sedang belajar (the learners). Partisipan diberitahu bahwa the learners merupakan orang kulit putih dan hitam. Partisipan memberikan sengatan listrik dengan intensitas yang lebih rendah kepada orang kulit hitam daripada orang kulit putih, kemungkinan untuk menekan hasrat atau untuk menunjukkan bahwa mereka bukan orang yang memiliki prasangka. Suatu saat, partisipan mendengar the learner memberikan komentar yang merendahkan terhadap mereka, yang secara alami membuat mereka marah. Sctelah itu. dengan kekuasaan mereka untuk melakukan sengatan listrik, partisipan yang bertugas untuk orang kulit hitam memberikan sengatan listrik dengan intensitas yang lebih kuat daripada partisipan yang bekerja dengan siswa kulit putih. Partisipan berhasil menekan (suppress) perasaan negatif mereka dalam kondisi normal, namun ketika merasa marah atau frustasi, atau self~esteem mereka goyah, mereka mengekspresikan prasangka secara langsung.

Proses Stereotip: Otomatis dan Terkendali

Patricia Devine dkk menemukan bahwa anggota masyarakat sama-sama menyimpan arsip stereotip yang dapat diakses dari pikirannya, meskipun mungkin mereka tidak mempercayai stereotip tsb. Devine dkk membedakan adanya dua pemrosesan informasi stereotip, yaitu pemrosesan otomatis dan pemrosesan terkendali

Pemrosesan otomatis:

Terjadi ketika ada stimulus yang memicu, adanya anggota kelompok yang distereotip dan pernyataan yang mengandung stereotype, mengakibatkan stereotype mengenai kelompok tersebut teraktivasi. ~ Terjadinya tanpa disadari, terjadi begitu saja dipicu oleh adanya suatu stimulus.

Pemrosesan terkendali:

Terjadi dengan kesadaran ~ individu memutuskan untuk mengikuti stereotype yang ada atau tidak.

Model Prasangka: Justification Suppression

Berdasarkan penelitian-penelitian Divine dkk mengenai dua jenis pemrosesan stereotip tersebut di atas, Crandall dan Eshleman (2004) mengajukan suatu model teori yang menjelaskan bagaimana bekerjanya prasangka. Menurut model ini, kebanyakan orang berjuang di antara kebutuhan untuk mengekspresikan prasangka dan kebutuhan untuk mempertahankan konsep diri yang positif (dalam hal ini tidak berprasangka) baik di mata mereka sendiri maupun di mata orang lain.

Seperti kita ketahui, melakukan supresi (menekan) impuls prasangka akan memakan energi. Manusia selalu menghindari pemakaian energi yang konstan sehingga selalu mencari pembenaran yang valid mengenai sikap negatif mereka terhadap orang lain atau out-group (menghindari disonansi kognitif). Ketika menemukan pembenaran atas sikap negatif ini, kemudian kita dapat mengekspresikan sikap negatif kepada out-group yang dimaksud dan terhindar dari disonansi kognitif.


The Illusory Correlation

Hal lain yang membuat kita mengalami proses kognitif stereotip adalah karena adanya ilusi korelasi (illusory correlation), yaitu kecenderungan menghubungkan antara dua hal yang sebenarnya tidak berhubungan. Sebagai contoh, adanya kepercayaan bahwa pasangan yang belum mempunyai anak akan dapat mempunyai anak setelah mengadopsi anak. Hal ini sebenamya sama sekali tidak berhubungan satu sama lain. Pasangan yang terlebih dahulu mengadopsi dapat memperoleh anak kemungkinan karena berkurangnya kecemasan dan tingkat stress-nya. Dalam konteks stereotip dan prasangka, ilusi korelasi juga terjadi, yaitu ketika kita menghubungkan hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan yang terjadi di antara orang-orang atau situasi tertentu (khusus) dan lebih lanjut kita anggap berlaku untuk semua anggota suatu kelompok.
 

Dapatkah kita mengubah stereotip yang kita yakini?

Para peneliti telah menemukan bahwa ketika kepada orang-orang disajikan beberapa contoh atau hal yang menyangkal stereotip yang ada, kebanyakan hal itu tidak mengubah kepercayaan umum mereka. Namun , dalam satu percobaan, beberapa orang yang disajikan dengan bukti, itu justru memperkuat keyakinan stereotip mereka, karena bukti itu menantang mereka untuk mencari alasan tambahan untuk berpegang pada keyakinan itu.

2.         Bagaimana Kita Menetapkan Makna: Macam-macam Bias Atribusi

Seperti halnya kita membentuk atribusi terhadap perilaku seseorang, kita pun melakukan atribusi (menyimpulkan penyebab perilaku) terhadap kelompok secara menyeluruh. Berikut ini beberapa fenomena yang menggambarkan atribusi terhadap kelompok.

Penjelasan Disposisional dan Situasional

Salah satu mengapa stereotype sangat melekat dalam kehidupan manusia adalah karena adanya kecenderungan untuk melakukan dispositional attribution (atribusi intemal), yaitu bahwa penyebab perilaku seseorang lebih dianggap sebagai hasil dari aspek kepribadian orang itu dan bukan aspek situasional. Kecenderungan ini biasa disebut “fundamental attribution error” (kesalahan atribusi mendasar). Meskipun mengatribusi perilaku orang-orang atas dasar faktor disposisional (internal) juga sering akurat, bagaimanapun perilaku manusia juga dibentuk oleh situasi.
Oleh sebab itu bila terlalu bersandar pada atribusi disposisional, seringkali membuat atribusi kita salah. Berdasarkan proses yang terjadi pada tingkat individu ini, kita dapat membayangkan masalah dan komplikasi yang muncul ketika kita melakukannya terhadap seluruh anggora kelompok pada out-group. Stereotip merupakan atrubusi disposisional yang negatif. Thomas Pettigrew (1979) menyebut kecenderungan untuk membuat atribusi disposisional tentang perilaku negatif individu dan mengenakannya untuk seluruh anggora kelompok ini sebagai "ultimate attrubution error" 

Ultimate Attribution Error :



Kecenderungan melakukan atribusi disposisional kepada seluruh anggota kelompok.
 
 
Ancaman Stereotip

Secara statistik terdapat perbedaan kinerja dalam tes kemampuan akademik antar berbagai kelompok budaya. Misalnya, di Amerika, orang-orang Amerika-Asia rata-rata kinerjanya agak lebih baik daripada kelompok Amerika-Anglo, dan kelompok Amerika-Anglo sedikit lebih baik daripada kelompok Amerika-Afrika. Mengapa hal ini terjadi? Beberapa hal yang dapat menjadi penjelasan antara lain faktor ekonomi, budaya, sejarah, politik. Selain itu, terdapat penjelasan lain, yaitu adanya kecemasan yang dihasilkan oleh stereotip negatif. Dalam serangkaian eksperimen, Claude, Steele, Joshua Aronson, dkk telah menunjukkan adanya satu faktor situasional yang dominan (yang menentukan kinerja dalam tes akademik) yang didasari fenemona yang mereka sebut sebagai ancaman stereotip.

Ancaman Stereotip (Stereotype Threat):



Ketakutan yang dialami oleh anggota suatu kelompok bahwa perilaku mereka dapat membenarkan stereotip budaya mengenai kelompoknya.

Sebagai contoh, bila orang Amerika-Afrika meraih nilai akademik yang tinggi, sebagian besar dari mereka mengonfirmasi adanya stereotip budaya yang negatif, yakni inferioritas intelektual. Akibatnya, mereka mengatakan “Jika nilai saya buruk dalam tes ini, hal ini akan mencerminkan lemahnya saya dan ras saya”.

Harapan dan Penyimpangan Stereotip

Ketika anggota kelompok lain (outgroup) berperilaku seperti yang kita harapkan, hal ini akan menegaskan dan bahkan menguatkan stereotip kita. Tapi apa yang terjadi ketika anggota suatu outgroup berperilaku dengan cara yang tak terduga (nonstereotypical)? Menurut teori atribusi, individu akan cenderung tetap menganggap bahwa orang yang berperilaku berlawanan dengan stereotip, sebenarnya memiliki kesamaan dengan stereotype tersebut, hanya saja hal itu tidak tampak dengan jelas dalam situasi tertentu.

Sebagai contoh, kita diberitahu bahwa seseorang merupakan orang yang tidak ramah, kemudian kita berinteraksi dengan orang tersebut dan menemukan bahwa orang tersebut berperilaku ramah. Dalam keadaan seperti itu kita cenderung menganggap bahwa perilaku ramah orang tersebut adalah palsu, dan di balik keramahannya sebenarnya ia adalah orang yang tidak suka berteman. Dalam hal ini kita melakukan atribusi disposisional/internal (dispositional attribution), disebabkan adanya stereotip disposisional (dispositional stereotype) yang sudah tertanam di benak kita.

Menyalahkan Korban

Sulit bagi orang yang jarang didiskriminasi untuk memahami bagaimana rasanya menjadi sasaran prasangka. Anggota masyarakat Amerika yang dominan yang berniat baik akan bersimpati dengan nasib mereka yang minoritas: orang-orang Afrika Amerika, Hispanik Amerika, Asia Amerika, Yahudi, perempuan, homoseksual, dan kelompok lain yang menjadi sasaran diskriminasi. Tetapi empati saja sebenarnya tidak mudah didapatkan bagi mereka yang telah secara rutin dinilai berdasarkan reputasi mereka, bukan karena ras, etnis, agama, atau kelompok keanggotaan lainnya. Padahal, ketika tidak ada empati, mudah untuk masuk dalam perangkap ‘menyalahkan korban’ (blaming the victim). Berlangsungnya atribusi seperti ini: “Jika orang-orang Yahudi telah menjadi korban dalam sejarah mereka, mereka pasti telah melakukan sesuatu yang memungkinkan terjadinya hal tersebut”.
 
Menyalahkan Korban (Blaming the Victim):

Kecenderungan untuk menyalahkan individu atas situasi atau kejadian yang menimpanya, biasanya dimotivasi oleh cara pandang 'the world is a fair place'.
Sebagai contoh, dalam suatu eksperimen, dua orang yang bekerja sama kerasnya dalam melakukan suatu tugas, berdasarkan undian dengan koin, salah satunya menerimaa imbalan yang besar, dan yang lain tidak menerima apapun. Observer yang melihat hasil yang berbeda tsb (adanya imbalan atau tidak ada imbalan) cenderung kembali menilai pekerjaan yang dilakukan kedua orang tersebut, dan meyakinkan dirinya bahwa orang yang tidak mendapat imbalan kurang bekerja keras dalam menyelesaikan tugas.

Self-Fulfilling Prophecies

Jika Anda yakin bahwa Si A bodoh dan memperlakukannya sebagai orang bodoh, meskipun sebenarnya tidak, sangat mungkin ia tidak akan menunjukkan kepintaran di hadapan Anda. Keadaan seperti ini merupakan Self-Fulfilling Prophecy

Self-Fulfilling Prophecies:


Keadaan di mana individu: (1) memiliki ekspektasi tertentu terhadap

seseorang; (2) yang kemudian mempengaruhi perilaku individu terhadap orang lain tersebut; (3) yang menyebabkan orang lain tersebut berperilaku sesuai dengan ekspektasi awal individu.
 

Bagaimana hal ini terjadi? Jika Anda melihat Si A, Anda mungkin tidak akan mengajukan pertanyaan menarik, dan tidak mendengarkan dengan penuh perhatian pada saat ia berbicara, bahkan mungkin Anda melihat keluar jendela atau menghindar. Anda memperlakukan demikian karena harapan yang sederhana: “Mengapa membuang energi memperhatikan Si A jika dia tidak mungkin mengatakan hal-hal yang cerdas atau menarik?” Hal ini memiliki dampak penting pada perilaku Si A, karena jika seseorang yang sedang berbicara tidak mendapat perhatian, tentu saja ia akan merasa tidak nyaman dan mungkin akan bungkam, tidak menampilkan semua puisi dan kebijaksanaan dalam dirinya. Keadaan ini berfungsi mengonfirmasi keyakinan awal yang Anda miliki tentang dia, sehingga terjadilah lingkaran tertutup self-fulfilling prophecy.

Para peneliti menunjukkan relevansi dari fenomena ini untuk stereotip dan diskriminasi dalam suatu eksperimen (Word, Zanna, & Cooper, 1974). Mahasiswa perguruan tinggi kulit putih diminta untuk mewawancarai pelamar pekerjaan; beberapa pelamar berkulit putih, dan lainnya orang Afrika Amerika. Tanpa disadari, para mahasiswa menampilkan ketidaknyamanan dan kurangnya minat ketika mewawancarai pelamar Afrika Amerika. Mereka duduk lebih jauh; cenderung gagap, dan mengakhiri wawancara jauh lebih cepat dibanding ketika mereka mewawancarai pelamar kulit putih. Apakah perilaku ini mempengaruhi pelamar Afrika Amerika? Untuk mengetahuinya, para peneliti melakukan eksperimen lanjutan di mana mereka mengatur perilaku pewawancara (oleh pembantu eksperimenter) dibuat bervariasi sesuai dengan cara pewawancara memperlakukan orang kulit putih atau orang Afrika Amerika pada percobaan pertama, tapi pada eksperimen kedua ini semua yang diwawancarai adalah kulit putih. Para peneliti merekam prosesnya dan perilaku pelamar dinilai oleh penilai independen (bukan peneliti). Dalam eksperimen kedua ini mereka menemukan bahwa para pelamar (semua kulit putih) yang diwawancarai ala wawancara untuk orang Afrika Amerika, dinilai jauh lebih gugup dan jauh kurang efektif dibanding dengan mereka yang diwawancarai ala wawancara dengan pelamar kulit putih pada percobaan pertama. Singkatnya, eksperimen ini menunjukkan dengan jelas bahwa ketika orang-orang ditempatkan di posisi yang kurang menguntungkan, maka cenderung merespon dengan kurang baik.

Prasangka dan Kompetisi: Realistic Conflict Theory

Salah satu sumber konflik yang paling menonjol atas konflik dan prasangka adalah kompetisi untuk sumber daya langka, politik kekuasaan, dan status sosial. Masalah sesederhana apapun dalam fenomena ingroup vs outgroup, akan diperbesar oleh persaingan ekonomi, politik, atau status. Realistic Conflict Theory menyatakan bahwa sumber daya yang terbatas menyebabkan konflik antara kelompok-kelompok dan menghasilkan prasangka dan diskriminasi (Jackson, 1993; Sherif, 1966; White, 1977). Dengan demikian sikap berprasangka cenderung meningkat saat-saat tegang dan konflik ada atas tujuan mutually.exclusive. Misalnya, Prasangka sangat tinggi di antara orang-orang Palestina dan Israel yang memperebutkan daerah teritorial. Individu mempunyai kecenderungan untuk menyalahkan anggota out-group yang berkompetisi dengannya atas kelangkaan sumber daya.

Realistic Conflict Theory:

Paham bahwa sumber daya yang terbatas akan berujung pada konflik antar kelompok dan meningkatkan prasangka dan diskriminasi.

Dalam keadaan sumberdaya yang terbatas , terdapat risiko terjadinya frustasi dan ketidakbahagiaan, diikuti kecenderungan menyerang kelompok yang tidak disukai. Hal ini disebut scapegoating (mengambinghitamkan).

Mengambinghitamkan (Scapegoating):

kecenderungan individu-individu, bila frustrasi atau tidak bahagia, mengarahkan agresi kepada kelompok yang tidak disukai dan relative lemah.

Cara Kita Melakukan Konformitas: Aturan-aturan Normatif

Penyebab terakhir prasangka adalah konformitas, baik terhadap normaa standar yang berlaku maupun terhadap aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Konformitas memiliki motif tertentu, seperti untuk memperoleh informasi (informational confiJrmity) atau agar diterima oleh kelompok tertentu (normative conformity). Ketika melibatkan prejudice, maka konformitas akan menjadi berbahaya.

Bila Prasangka Diinstitusikan

Norma adalah aturan atau batasan yang dianggap benar oleh masyarakat. Setiap budaya memiliki norma tertentu. Ketika individu hidup di lingkungan yang mempunyai norma yang mengandung stereotip dan diskriminasi, maka individu tersebut secara tidak sadar akan mengembangkan prasangka dan diskriminasi di dalam diri. Hal ini disebut institutionalized racism dan institutionalized sexism.

Institutionalized racism: Sikap membedakan ras (rasis) yang dimiliki oleh mayoritas orang-orang yang hidup dalam masyarakat di mana terdapat norma stereotip dan diskriminasi.

Institutionalized sexism: Sikap pembedaan jenis kelamin (seksisme) yang dimiliki oleh mayoritas orang-orang yang hidup dalam masyarakat di mana terdapat norma stereotip dan diskriminasi  

Prasangka Modern

Zaman berubah, dan norma budaya semakin memberikan toleransi terhadap out-group. Hal ini membuat banyak orang menjadi lebih berhati-hati terhadap perilakunya dengan tidak menunjukkan prejudice kepada khayalak luar, namun tetap berpegang kepada stereotip yang diyakini. Fenomena ini dikenal sebagai modern racism. Orang menghindar dari cap rasis namun ketika situasi sudah 'aman', prasangka mereka akan terkuak.

Prasangka Modern:
Berperilaku yang tidak mencerminkan prejudice, namun tetap mempertahankan sikap berprasangka di dalam diri.
Sebagai contoh: Walaupun hanya ada sedikit orang Amerika yang mengaku bahwa mereka tidak setuju dengan penggabungan sekolah, ternyata kebanyakan orangtua berkulit putih tidak setuju untuk membiarkan anak mereka naik bus ke sekolah untuk mendapatkan keseimbangan rasia! Ketika ditanya, para orangtua ini bersikeras bahwa keengganan mereka tidak ada hubungannya dengan prejudice; mereka hanya tidak ingin anak mereka menghabiskan banyak waktu di bus. Tetapi menurut John McConahay (1981), Kebanyakan orangtua kulit putih tidak banyak banyak protes ketika anak mereka menaiki bus yang jalurnya hanya melalui sekolah orang kulit putih.

C. BAGAIMANA CARA MENGURANGI PRASANGKA?
Pettigrew dan Tropp (dalam Aronson, 2007) mengatakan bahwa kontak antar ras merupakan hal yang baik. Dalam kenyataannya, kontak tidak selalu dapat mengurangi prasangka. Berdasarkan penelitian dan eksperimen yang dilakukan oleh Sherif, dkk (1961) terhadap kamp anak laki-laki, di mana dua kubu (EaKles dan Rattlers) saling bersaing, terdapat enam kondisi dalam kontak yang dapat mengurangi prasangka:
Peneliti menempatkan dua kubu yang bersaing dalam suatu keadaan yang membuat mereka saling tergantung satu sama lain (mutual interdependence) (Kondisi pertama) untuk mencapai tujuan tertentu (Kondisi kedua). Contohnya, peneliti membuat sebuah keadaan darurat dengan merusak sistem suplai air. Satu-satunya cara untlik menyelesaikan masalah ini adalah dengan bersatunya Eagles dan Rattlers.

Mutual Interdependence:
Kondisi ketiga, ketika status individu berbeda, interaksi atau kontak dapat berujung pada pola stereotype yang ada, seperti ketika bos berbicara pada pegawainya, maka sang bos akan berperilaku sesuai stereotip umum mengenai bos. Pada intinya, kontak seharusnya membuat orang belajar bahwa stereotype (khususnya stereotype negatif) mereka salah. Dengan kesetaraan status antar individu. tidak ada yang lebih berkuasa dibandingkan siapapun, dan prejudice pun dapat tereduksi (berkurang).
Kondisi keempat, menempatkan dua kelompok yang berbeda dalam satu ruangan tidak dapat dengan mudah mengurangi prejudice karena masing-masing individu akan tetap terfokus pada kelompoknya. Individu dapat lebih mengenal dan memahami individu lainnya jika berada dalam keadaan one-to-one basis, dimana interaksi yang dilakukan lebih bersifat interpersonal. Melalui interaksi bersahabat dan informal dengan beberapa anggota out-group, individu dapat lebih memahami bahwa stereotip yang dipercayainya ternyata salah.
Kondisi kelima, melalui persahabatan, interaksi informal dengan berbagai anggota (multiple members) out-group, seorang individu akan belajar bahwa keyakinan-nya tentang out-group adalah salah.
Kondisi keenam, adanya norma yang mempromosikan dan mendukung kesetaraan di antara kelompok (Amir, 1969; Wilder, 1984). Norma sosial yang kuat, dapat dimanfaatkan untuk memotivasi orang untuk menjangkau anggota kelompok luar. Sebagai contoh, jika bos atau profesor menciptakan dan memperkuat norma penerimaan dan toleransi di tempat kerja atau di dalam kelas, anggota kelompok akan mengubah perilaku mereka agar sesuai norma tersebut.


Sebagai ringkasan dari ilustrasi di atas, kelompok-kelompok yang bermusuhan akan mengurangi stereotip, prasangka, dan diskriminasi ketika terdapat keenam kondisi kontak (Aronson & Bridgeman, 1979; Cook, 1984; Riordan, 1978):
  • Rasa saling ketergantungan 
  • Suatu tujuan bersama
  •  Status seimbang 
  • Kontak informal, interpersonal 
  • Beberapa kontak
  • Norma sosial dan kesetaraan



Reference

Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini  Bab 13

0 komentar:

Posting Komentar