Kamis, 29 Juni 2017

Apa itu Classical Conditioning?



BELAJAR (LEARNING)

Belajar (learning): perubahan perilaku yang relatif menetap yang terjadi melalui pengalaman.

Belajar ada dua macam:
          Observational learning: pembelajaran diperoleh dengan mengamati apa yang orang lain lakukan dan katakan.
          Associative learning: pembelajaran dilakukan dengan melakukan suatu koneksi atau asosiasi antara dua peristiwa.

Pengondisian (Conditioning): merupakan suatu proses mempelajari asosiasi.
Terdapat dua jenis pengondisian:
1.     Pengondisian klasikal (classical conditioning): organisma mempelajari asosiasi antara dua stimulus. Melalui hasil asosiasi ini, organisma belajar untuk melakukan antisipasi atas suatu peristiwa. Misalnya: segera menutup telinga saat melihat kilatan petir à antisipasi suara guntur yang memekakkan telinga.
2.     Pengondisian operan (operant conditioning): organisma mempelajari asosiasi antara suatu perilaku dan konsekuensi/ akibat dari perilaku tersebut. Misal: belajar tekun (perilaku) menghasilkan nilai yang tinggi (konsekuensi). Sebagai akibat pengetahuan akan asosiasi ini, organisma belajar meningkatkan perilaku yang diikuti oleh pemberian penghargaan (rewards) dan mengurangi perilaku yang menghasilkan hukuman (punishments).  
Contoh:
Anak akan mempertahankan perilaku mencium tangan saat bertemu dengan orang dewasa karena ia mendapat pujian ”anak manis” atau ”anak pintar” dari orangtuanya dan dari orang dewasa lainnya.

            Anak batita belajar untuk mengatakan ”pipis” atau ”pup” karena ia mendapat teguran dari orangtua/ pengasuh saat BAB/ BAK di celana atau merasa tidak nyaman dengan celananya yang basah dan kotor.


Pengondisian Klasikal (Classical Conditioning) 

Studi Pavlov
Seorang Fisiologis Rusia Ivan Pavlov pada tahun 1900 an melakukan penelitian tentang bagaimana tubuh mencerna makanan. Di awal penelitiannya, ia secara teratur meletakan bubuk daging ke dalam mulut seekor anjing, yang kemudian membuat anjing tersebut mengeluarkan air liur. Kemudian, Pavlov berpendapat bahwa makanan tersebut bukanlah satu-satunya stimulus yang membuat anjing tsb mengeluarkan liurnya.
Liur anjing tersebut merupakan suatu respon terhadap sejumlah stimulus yang diasosiasikan dengan makanan, seperti tampilnya mangkuk makanan, munculnya individu yang membawa makanan ke dalam ruangan, dan suara pintu yang menutup saat makanan tsb datang.  Asosiasi yang dilakukan anjing terhadap stimulus mangkuk, sosok yang membawa makanan, dan suara pintu dengan makanan merupakan contoh pengondisian klasik. 
Pavlov melihat bahwa perilaku anjing meliputi komponen-komponen yang dipelajari (learned) dan yang tidak dipelajari (unlearned). Bagian yang tidak dipelajari (unlearned) dari pengondisian klasik berdasarkan pada fakta bahwa sejumlah stimuli secara otomatis menghasilkan respons tertentu terpisah dari segala bentuk pembelajaran sebelumnya, merupakan hal bawaan (inborn) atau terberi (innate) dari organisma tsb. Refleks merupakan hubungan yang otomatis antara stimulus-response. Pada anjing Pavlov, refleks terlihat pada keluarnya air liur sebagai respon terhadap makanan. Contoh lain dari refleks antara lain rasa mual saat mencium makanan basi/ busuk, tubuh menggigil saat kedinginan, batuk saat kerongkongan terasa gatal, dan menyempitnya pupil saat melihat cahaya yang menyilaukan.

Unconditioned Stimulus/ UCS: merupakan stimulus yang menghasilkan suatu respons tanda adanya proses pembelajaran sebelumnya. Makanan dalam eksperimen Pavlov merupakan UCS. 

Uncoditioned Response (UCR): merupakan suatu respon yang tidak dipelajari yang secara otomatis dimunculkan oleh UCS. Pada eksperimen Pavlov, liur yang keluar dan menetes dari mulut anjing Pavlov adalah UCR.      

Stimulus yang dikondisikan (Conditioned Stimulus/ CS): merupakan stimulus yang sebelumnya netral namun akhirnya mendatangkan respons yang terkondisi (UR) setelah diasosiasikan dengan UCS.

Respons yang dikondisikan (Conditioned Response/ CR): merupakan repons yang dipelajari terhadap stimulus yang terkondisi yang timbul setelah pemasangan CS – UCS.

Acquisition (Pemerolehan)
Acquisition dalam classical conditioning merupakan periode pembelajaran hubungan stimulus-respons. Hal ini meliputi suatu stimulus netral yang diasosiasikan dengan UCS dan kemudian menjadi CS yang mendatangkan CR. Dua aspek acquisition yang penting adalah: timing (waktu) dan contingency/ predictability (kebetulan/ dapat diramalkan).
Waktu interval (timing) antara CS dan UCS merupakan satu aspek penting dalam classical conditioning. Interval waktu menjelaskan kontak (contiguity) atau keterkaitan antara waktu dan ruang suatu stimuli.  Conditioned response (CR) berkembang ketika CS dan UCS berhubungan, dan muncul dengan selang waktu berdekatan. Terdapat rentang waktu optimal, dimana organisma kemudian melakukan hubungan antara CS dan CR. Pada eksperimen Pavlov, apabila bel baru berbunyi 20 menit setelah makanan tersaji, anjing tidak akan menghubungkan bunyi bel dengan kehadiran makanan.
Selama acquisition, suatu CS harus dipasangkan dengan UCS beberapa kali untuk membangun suatu CR yang kuat. Bunyi bel dapat segera menjadi CS jika diiringi dengan pemberian makanan. Namun, jika UCS intens dan menyakitkan, seperti kejutan listrik (electric shock) atau situasi/ peristiwa yang traumatik, maka conditioning dapat terjadi walaupun hanya terjadi satu kali pemasangan CS-UCS. Rangkaian dan interval waktu CS-UCS juga memengaruhi conditioning. Pembelajaran biasanya  timbul dengan cepat setelah terjadi penundaan singkat (delayed conditioning) dalam pemasangan CS-UCS. Misalnya bunyi bel (CS) mucul pertama kali dan tetap berbunyi hingga makanan (UCS) muncul. Pada delayed conditioning, kehadiran CS mendahului muculnya US

Pada pemasangan maju (forward pairing/ forward conditioning), bel mungkin akan berbunyi atau tidak berbunyi, dan kemudian segera diikuti  dengan pemberian makanan. Yang terbaik adalah CS diberikan dua atau tiga detik sebelum UCS. Pemasangan maju memiliki nilai adaptif karena hadirnya CS merupakan sinyal akan munculnya UCS. Di sisi lain, menghadirkan CS and UCS secara bersamaan (simultaneous conditioning/ simultaneous pairing) membuat pengondisian terjadi kurang cepat. Hal ini antara lain disebabkan subyek tidak memiliki waktu untuk mengantisipasi UCS, dan CS (bel) tidak dinggap bagian dari UCS.  danPembelajaran sangat lambat terjadi jika CS hadir setelah UCS (backward conditioning/ backward pairing/ pemasangan mundur). 
          Dapat disimpulkan, bahwa classical conditioning yang kuat biasanya terjadi jika: Dapat disimpulkan, bahwa classical conditioning yang kuat biasanya terjadi jika:

          terdapat pengulangan pemasangan CS-UCS
          UCS lebih intensif/ lebih kuat
          Rangkaian meliputi pemasangan maju (forward pairing)
          Interval waktu yang singkat antara CS dan UCS

Extinction (pemunahan) and spontaneous recovery (pemulihan spontan)
Fungsi classical conditioning adalah membantu organisma beradaptasi dengan lingkungannya. Apabila  suatu CR tidak lagi dibutuhkan, maka respons tersebut dapat dihilangkan melalui pemunahan (extinction). Extinction merupakan suatu proses dimana CS dihadirkan berulang-ulang tanpa disertai UCS. Hal ini menyebabkan CR melemah dan pada akhirnya hilang/ punah. Setiap kehadiran CS tanpa UCS disebut extinction trial. Ketika Pavlov secara berulang-ulang membunyikan bel tanpa disertai makanan, sang anjing pada akhirnya tidak berliur saat bel berbunyi. Namun, hal ini tidak berarti jejak pembelajaran hilang sama sekali. Karena di kesempatan lain, saat bel dibunyikan kembali, sang anjing berliur kembali. Hal ini disebut pemulihan spontan (spontaneous recovery): muculnya kembali CR yang sebelumnya telah punah setelah periode istirahat, dan tanpa adanya percobaan pembelajaran (learning trials) yang baru.

Generalisasi dan Diskriminasi 
(untuk animasi silakan buka: 
www.gyed.mhcls.com/connectext/psy/ch06/watson.mhtml)
            Generalisasi dalam classical conditioning merupakan suatu kecenderungan stimulus baru yang serupa dengan CS yang asli untuk membangkitkan suatu respons yang serupa dengan CR. Dengan prinsip generalisasi ini, kita tidak perlu lagi belajar mengendarai motor/ mobil saat kita berganti kendaraan atau saat berkendara ke tempat yang berbeda.
Generalisasi stimulus tidak selalu menguntungkan. Misalnya: kucing yang menggeneralisasikan ikan kecil dengan ikan piranha tentunya menjadi sulit mencari makan. Karenanya melakukan diskriminasi antara stimulus merupakan hal yang penting. Diskriminasi dalam classical conditioning adalah proses belajar untuk berespon terhadap stimulus tertentu dan tidak berespon terhadap stimulus lainnya.  Untuk menghasilkan diskriminasi, Pavlov memberikan makanan ke anjing hanya setelah bel berbunyi dan tidak setelah bunyi-bunyi lainnya. Melalui cara ini, anjing belajar untuk membedakan antara bel dan bunyi-bunyi lainnya.
Classical Conditioning pada Manusia
Phobia (baca: fobia) merupakan ketakutan yang irasional. Salah satu eksperimen yang menggunakan classical coniditioning adalah eksperimen yang kemudian disebut “Little Albert”. Melalui eksperimen ini, John Watson membuktikan bahwa rasa takut bisa dikondisikan atau dibuat. Dalam eksperimen ini, Watson memperlihatkan seekor tikus putih kepada Albert, bayi laki-laki berusia 11 bulan. Saat Albert bermain dengan putih tikus tersebut, dibunyikanlah bel/ bunyi yang memekakakkan telinga yang membuat Albert kaget dan takut. Setelah tujuh kali pemasangan tikus putih – bunyi, Albert menunjukkan rasa takut pada tikut tersebut bahkan saat tidak ada bunyi yang memekakkan telinga. Rasa takut itu kemudian digeneralisasikan terhadap kelinci, anjjing, dan jaket kulit. Eksperimen yang dilakukan pada tahun 1920 ini pada saat ini dianggap melanggar kode etik. Watson telah membuat Albert takut pada benda yang berbulu yang mana ketakutan ini mungkin akan terus dialami setelah eksperimen berakhir. 

Counterconditioning adalah prosedur classical conditioning yang dilakukan untuk melemahkan  suatu CR dengan mengasosiasikannya dengan stimulus yang menimbulkan rasa takut (fear-provoking stimulus) dengan suatu respons baru yang bertentangan dengan rasa takut tersebut. Mary Cover Jones pada tahun 1924, berhasil menghilangkan rasa takut pada anak laki-laki berusia 3 tahun, Peter. Peter  serupa dengan Albert takut terhadap tikut putih, jaket kulit, katak, ikan, dan mainan mekanik. Untuk menghilangkan rasa takut ini, Jones membawa seekor kelinci dalam jangkauan pandangan Peter namun pada jarak yang cukup jauh sehingga tidak membuat Peter merasa terganggu. Bersamaan dengan dibawanya Kelinci ini, Peter diberikan biskuit dan susu. Pada hari berikutnya, kelinci dibawa lebih dekat ke Peter saat Peter makan biskuit dan minum susu. Hingga pada akhirnya, Peter berhasil memegangan kelinci dengan satu tangannya, sedangkan tangan yang lain memegang biskuit yang ia kunyah.  Rasa senang yang ditimbulkan dari biskuit dan susu berlawanan/ bertentangan dengan rasa takut yang disebabkan kelinci, dan rasa takut Peter kemudian hilang/ padam melalui counterconditioning.


0 komentar:

Posting Komentar